Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2013

INDONESIAKU DIJAJAH LAGI

Apapun yang terjadi jangan sampai kehilangan cinta pada negeri ini - Tanah Surga Sekitar empat atau lima tahun yang lalu, guru ips-ku di sekolah dasar berkata, "Memang negeri kita sekarang sudah merdeka. Namun kalian sebagai generasi muda, janganlah berpangku tangan saja. Apa yang harus kalian lakukan bukan berperang, tapi belajar dengan giat. Karena Indonesia sekarang berada dalam ancaman jajahan tekhnologi. Melalui produk-produk asing yang masuk ke negara kita." Kau harap aku mengerti arti kalimat-kalimat itu? Tentu tidak. Aku hanya membayangkan masih dapat mengibarkan bendera merah putih saja, tentu sudah tak ada masalah. Mana ada tekhnologi bisa menjajah kita? Omong kosong, pikirku waktu itu. Namun ternyata itu benar-benar terjadi tahun-tahun ini. Toh ternyata kita dijajah oleh produk luar negeri. Kenapa sih kita tidak bangga dengan negeri sendiri? Oh tentu aku sangat bangga pada negeriku ini. Pada alamnya yang masih alami. Pada tari-tarian daer

Mungkin Aku yang Keterlaluan

Uap nafasku di kaca menuliskan nama kita berdua. Aku sedang dalam perjalanan menuju Ibukota negara, menjauh dari titik tempatmu berada. Beribu kilometer jauhnya darimu, entah kenapa aku masih dapat mengingat jelas rupamu. Terngiang jelas suaramu dalam setiap tidurku. Terbersit senyum dan tawamu setiap aku membuka mata. Gerimis mengguyur membawa aroma tubuhmu. Dari kejauhan aku berpikir sedang apa dirimu? Perjalananku masih 6 hari lagi. Lama tak bersua aku menerawang setiap detail wajahmu dalam foto. Foto kita berdua saat persami dulu. Persami, satu-satunya kenangan kita yang sudah basi. Padahal sudah akhir Oktober lalu hingga hampir tahun baru aku masih tersenyum ketika mengenang itu. Kurasa kau pun begitu, iya kan? Entah kenapa aku selalu melihat mimik kebahagian di wajahmu ketika seorang guru mengungkit tentang kegiatan persami itu. Apalagi membahas tentang pensi. "Dalam pola lingkaran dansaku, kaki-kaki kita saling bertemu, tangan kita saling menyatu, matam

Dari Pengecut untuk Bapak Presiden

Wahai Bapak Presiden yang kakinya tak pernah ternodai.             Maafkan aku karena telah menjadi seorang pengecut. Pengecut yang hanya diam melihat arti makmur sentosa yang ternyata hampa. Aku tidak tahu, apakah Bapak pernah melihat semua kehampaan ini? Tapi aku melihatnya, dengan mata kepalaku sendiri. Sebuah perjalanan kecil yang kulakukan membuatku mengerti bagaimana susahnya hidup bagi rakyat kecil dan bagi mereka yang tahu mana yang benar.             Wahai Bapak Presiden yang bajunya selalu wangi.             Mereka dengan susah payah menjalani hidup ini. Bahkan mereka ditindas di negaranya sendiri. Mencari nafkah bagaikan hidup di sarang harimau. Setiap kau melangkah, tanpa rasa iba, sang harimau dapat menerkam tiba-tiba. Mencari nafkah bagaikan memilih antara dosa dan pahala.  Mau yang haram atau yang halal?             Wahai Bapak Presiden yang hidupnya selalu tercukupi.             Asal Bapak tahu, negrimu tidaklah makmur sentosa Pak!             Dar