Mungkin Aku yang Keterlaluan

Uap nafasku di kaca menuliskan nama kita berdua. Aku sedang dalam perjalanan menuju Ibukota negara, menjauh dari titik tempatmu berada.

Beribu kilometer jauhnya darimu, entah kenapa aku masih dapat mengingat jelas rupamu. Terngiang jelas suaramu dalam setiap tidurku. Terbersit senyum dan tawamu setiap aku membuka mata.

Gerimis mengguyur membawa aroma tubuhmu. Dari kejauhan aku berpikir sedang apa dirimu?

Perjalananku masih 6 hari lagi. Lama tak bersua aku menerawang setiap detail wajahmu dalam foto. Foto kita berdua saat persami dulu.

Persami, satu-satunya kenangan kita yang sudah basi. Padahal sudah akhir Oktober lalu hingga hampir tahun baru aku masih tersenyum ketika mengenang itu. Kurasa kau pun begitu, iya kan? Entah kenapa aku selalu melihat mimik kebahagian di wajahmu ketika seorang guru mengungkit tentang kegiatan persami itu. Apalagi membahas tentang pensi.

"Dalam pola lingkaran dansaku, kaki-kaki kita saling bertemu, tangan kita saling menyatu, matamu dan mataku saling tahu, bahwa ada sesuatu."

Di luar itu, kita tidak punya kenangan apa-apa, selain arti tatapan dan senyumanmu yang bisa jadi tidak akan pernah kau ungkap. Berbulan-bulan setelah Oktober, aku mengorek kamus-kamus sastra berusaha menulis segala hal tentangmu. Bukan hanya itu, aku mendedikasikan semuanya untukmu, menurutku.

"Setiap seniman pasti punya bintangnya sendiri-sendiri." - Perahu Kertas

Ah aku bukan seorang seniman, bukan juga seorang penyair. Aku hanya senang bermain padan kata, mencari-cari filosofi seputar cinta. Tapi aku memilihmu menjadi bintangku, boleh?

Mungkin sudah terlalu basi bahwa ternyata aku masih menulis tentangmu hingga hari ini. Aku pun terkejut mengetahui bahwa jemariku masih betah menulis serba-serbimu, bahwa pikiranku masih gigih mengimajinasikan sosokmu.

Aku sempat mencetak fotomu denganku, menempelkannya pada dinding kamar. Kadang terpikir olehku, untuk apa? Apa gunanya aku menempel-nempel fotomu, menulis-nulis namamu, berimaji tentang sosokmu? Kau bahkan tak lebih dari sekedar teman SMA yang bisa jadi hanya kebetulan saja kita menari bersama. Kau toh sedang menjalin hubungan dengan wanita lain, sudah jelas tidak ada pintu bagiku untuk sekarang atau berbulan ke depan.

Masih memikirkan sampai detik ini saja merupakan kesalahan besar. Apalagi dengan lancang beraninya aku menulis tentangmu, mendetailkan bagaimana dirimu, bahkan sampai merindukanmu. Mungkin aku yang keterlaluan.

Tapi toh di dunia ini tidak ada yang sempurna. Seperti aku yang tidak bisa mencintaimu dengan sempurna atau tidak bisa memilikimu seutuhnya.

Ya Tuhan, awalnya aku ingin menulis jurnal perjalananku. Tapi apa yang aku lakukan? Lagi-lagi tentangmu.

Maafkan aku atas segala keterlaluanku selama ini dan kumohon tetaplah bersama seiring langkahku, sebagai seorang teman. Teman baikku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peradaban Manusia Baru : Modernisasi Daun Kelor.

Selamat!

LEBARAN 1434 H