Bibirku yang Kini Bisu di Hadapanmu.

Maafkan aku untuk yang kesekian kalinya.
Pagi ini aku lagi-lagi menuliskan tentangmu, kawan. Apa kabar dirimu setelah sekian lama? Dan apa yang sedang kau lakukan pagi-pagi begini?

Kawanku yang teramat ku senang.
Mungkin perasaan ini telah pudar. Perasaan menyenangismu atau hasrat ingin memilikimu. Meski sejujurnya aku tak pernah ingin memilikimu. Aku yang telah lama tak bertanya kabarmu, begitu pula dirimu. Kita, yang telah saling lupa atau pura-pura lupa. Sekali lagi, apa kabar?
Alangkah indahnya cuaca pagi ini yang ku harap sama cerahnya dengan keadaanmu, disana.


Kawan.
Aku tak tahu dimana kini perasaan itu bersembunyi. Tertiup anginkah? Atau ikut mengalir bersama air? Luruh begitu saja, hilang tanpa alasan, pergi tanpa permisi. Dan meninggalkan memori yang hanya lamat-lamat ku ingat. Lalu, novel tentangmu, ku pilih untuk tidak ku tamatkan. Barang tinggal lima bait lagi tamat cerita itu. Namun novelnya terlanjur ku biarkan berdebu.

Hai Kawanku yang teramat menyenangkan.
Namun aku tak tahu apakah perasaan ini benar-benar hilang? Atau hanya semata layu? Lantas kapan akan bersemi kembali? Lagi-lagi aku tak tahu.
Dan sejujurnya diriku ingin bertanya lagi kabarmu, mengucapkan salam pagi atau malam kepadamu, serta mengantar keberangkatanmu dengan ucapan "hati-hati di jalan".
Mungkin sudah terlambat, atau kadaluwarsa, atau basi, atau memang telah selesai. Cukup sampai disini saja?
Di hari-hari yang layu ini, maaf aku tak bisa menyuarakan isi hatiku dengan mulutku sendiri. Dan kuharap engkau mengerti, bahwa "apa kabar?" atau ucapan "hati-hati" dari teman-teman, mungkin sesungguhnya diriku sendiri yang kini mendadak jadi bisu di hadapanmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peradaban Manusia Baru : Modernisasi Daun Kelor.

Selamat!

LEBARAN 1434 H